Saya harus bermacet-macet ria menuju kota kecil Cimahi untuk menghadiri perhelatan festival musik metal Bandung Berisik V di sebuah hari Sabtu, 11 Juni lalu. Agak sedikit miris bahwa festival musik metal terbesar se-Asia Tenggara ini diselenggarakan di Cimahi yang notabene berjarak sekitar puluhan kilometer dari pusat kota Bandung.
Ironis, kota Bandung yang digadang sebagai kota barometer perkembangan musik independen di Indonesia tidak memiliki gedung kesenian atau lapangan besar yang representatif menampung puluhan ribu penonton. Lebih ironis lagi, festival kebudayaan ini harus menyewa sebuah kompleks militer di kota sebelah barat Bandung.
Rombongan berbaju hitam, berambut gondrong, dan mohawk tidak lagi menjadi pemandangan aneh. Dalam radius beberapa meter dari venue saja penampakan mereka mencolok. Kian nyata bahwa musik metal telah menjadi identitas penting dari kebudayaan global. Musik metal yang aslinya besar di Eropa dan Amerika, kini menjadi katarsis yang sama bagi rombongan anak nongkrong di Pasar Ujungberung. Identitas semiotika yang sama, ekspresi yang sama, dan kemudian musik metal telah menjadi ekspresi keseharian.
Salah satu tesis mengenai asal usul musik metal sebagai bagian dari kebudayaan global diajukan oleh sutradara-cum-metalheads Sam Dunn dalam film dokumenter fenomenal, Global Metal (2009). Film ini merangkum fenomena musik metal hampir di seluruh negara. Termasuk negara-negara dunia ketiga, salah satunya Indonesia. Tesis penting yang diajukan oleh Sam Dunn adalah mengenai adanya relasi yang kuat antara musik metal dan kondisi sosial-politik yang berkembang di Indonesia. Pada awal masuknya, musik metal di negara-negara berkembang menjadi ekstase kekecewaan anak muda terhadap maraknya perilaku rezim, korupsi, dan kekacauan politik. Sam Dunn menyampaikan bahwa ada hubungan yang kuat antara lirik Sepultura dengan kritik keras rezim pemerintahan di Brasil. Sam Dunn melihat fenomena yang sama di Indonesia.
Jeffrey Jensen Arnett dalam bukunya Metalheads: Heavy Metal Music and Adolescent Alienation (1999) menyampaikan diskusi penting betapa para metalheads digerakkan oleh hasrat yang sama untuk mengkonsumsi musik metal. Ada gelombang hasrat untuk menjadikan metal sebagai bagian dari cara hidup (way of life) mereka. Ini mungkin terjadi karena ada relasi yang sama antara kerasnya musik metal yang penuh distorsi cadas dengan perasaan-perasaan keterasingan dan kemarahan terhadap apapun.
Saya menyaksikan bagaimana Bandung Berisik V sanggup menyetir puluhan ribu metalheads. Hasrat seperti disebut oleh Arnett itulah yang menjadi dinamo utama untuk menggerakkan ribuan metalheads untuk hadir di Cimahi. Melihat geliat dan hasrat yang besar itu, saya menyetujui jika Bandung disebut sebagai komunitas underground terbesar di Asia.
Hasrat kolektif itu pula yang membuat komunitas underground di Bandung bisa bertahan. Setelah tragedi AACC tiga tahun silam menewaskan sebelas anak muda di tengah konser band metal Beside, musik metal terancam dan terbelenggu. Band-band metal dilarang tampil, konser metal menjadi barang mahal. Setelah kejadian itu, beberapa band underground Bandung melampiaskan hasrat dan ekspresinya dengan menggelar konser-konser illegal. Bisa di pojokan studio sempit, di daerah Cihampelas atau Cijerah, atau menggelar konser di atas gunung dan bukit seperti di daerah Lembang, Cihanjuang, atau Gunung Puntang. Beberapa konser ilegal itu mesti berujung pembubaran oleh aparat.
Sekilas Bandung Berisik
“Pesta ini untuk kita semua. Tak ada perbedaan di sini. Mau anak ustadz, mau anak tentara, mau anak preman. Semua sama!” teriak Amenk, vokalis band death-metal asal Bandung Disinfected, dihadapan puluhan ribu metalheads yang menghadiri “ruwatan” musik metal ini.
Pesan Amenk adalah sebuah semangat nyata bahwa lewat hasrat kolektifitaslah semangat komunitas bisa terbangun dan terjaga. Lewat teriakan kecil Amenk, saya menangkap banyak makna. Diantaranya bahwa yang membuat Bandung Berisik selalu menjadi ikon komunitas underground yang otentik adalah semangat kolektif atau gotong royongnya.
Bandung Berisik bukan festival musik biasa. Festival ini telah menjadi ikon musik metal kota Bandung. Konser ini memang digerakkan secara komunal oleh komunitas Ujungberung Rebels, yang dikenal sebagai komunitas metal tertua di Indonesia. Kawan saya dari komunitas Ujungberung, Kimung, menekankan juga bahwa kolektifitaslah yang menjadi bensin utama dari gelaran Bandung Berisik. Dia masih ingat, delapan tahun lalu Bandung Berisik IV sanggup menghadirkan sekitar 25.000 penonton. Namun, keuntungan yang didapat panitia hanya cukup untuk membeli satu bungkus rokok Garpit yang dihisap bersama-sama dan sisa uang kembaliannya disumbangkan ke mesjid.
Meski tanpa bayaran, komunitas Ujungberung berhasrat sama agar pergelaran Bandung Berisik IV ketika itu bisa berjalan sukses. Ini lah yang membedakan festival yang digerakkan oleh roda hasrat akan semangat kolektifitas dari festival rock seperti Soundrenaline dan Java Rockinland yang menjadikan festival sebagai moda kapitalisme.
Kalau Jerman punya Wacken Festival atau Finlandia bangga dengan Tuska Festival, bolehlah kita berujar, “Indonesia punya Bandung Berisik!”. Festival menjadi penanda identitas penting di tengah hiruk pikuk kebudayaan kontemporer saat ini. Festival juga mencerminkan dinamika perkembangan budaya musik suatu kota (atau negara).
Bandung Berisik sudah lima kali digelar. Pertama kali digelar pada 23 September 1995 di GOR Saparua. Terakhir kali digelar 10 Agustus 2003 di Stadion Persib Bandung. Dari waktu ke waktu, festival ini semakin membesar seiring dengan komunitas metal yang juga makin membesar. “Alumnus” festival ini bukanlah band metal main-main. Jasad, Burgerkill, Forgotten, Disinfected adalah sejumlah band yang pernah merasakan panasnya Bandung Berisik.
Sejumlah band dari luar Bandung juga tampil. Hadirnya band-band luar Bandung seperti Seringai (Jakarta), Down For Life (Solo), Cranial Incisored (Yogyakarta), Parau (Bali), Screaming Factor (Malang), dan Critical Defacement (Makasar) membuktikan musik metal di Indonesia yang semakin berkembang. Kritik saya hanyalah pada kenyataan bahwa mayoritas band-band metal yang tampil masih berkutat di ranah musik death-metal atau metalcore. Belum ada gebrakan berbeda yang menampilkan musik-musik post-metal, doom-metal, atau black-metal yang sempat menjadi kejayaan underground di era 1990-an.
Yang menarik dari Bandung Berisik tentu tak hanya distorsi kencang yang meraung. Tapi juga pesan-pesan subversif yang dilontarkan para penampil. Saya jadi ingat ketika masih remaja di penghujung 1990-an, menghabiskan waktu menonton band-band punk hardcore di Saparua, saat sang vokalis berteriak-teriak “hapus dwi fungsi ABRI… Fuck off Polisi”. Kini, konser itu ironisnya diselenggarakan di kawasan militer.
Lagu terbaru Seringai, “Dilarang di Bandung” dibawakan Seringai yang tampil agak malam. “Lagu ini tentang band-band underground yang sempat dicekal di Bandung. Jasad, Burgerkill, Jeruji, Forgotten, adalah beberapa diantaranya. Kasus dengan aparat ini juga sempat kami alami,” ucap Arian 13 ketika Seringai tampil. Seringai juga pernah bermasalah dengan aparat polisi soal desain kaus mereka yang menyindir aparat polisi dua tahun lalu. Ketika lagu ini diteriakkan di depan puluhan ribu penonton di kompleks militer Cimahi itu, seorang polisi di sebelah saya hanya melongo saja.
Metal Kasundaan
Saya juga melihat kumpulan anak muda yang bangga memakai kaus hitam death metal dan di memakai iket (kain ikat) khas Sunda di kepalanya. Fenomena yang muncul tiga tahun belakangan ini membawa tafsir berbeda untuk musik metal global. Musik metal telah dirombak dan dicampur ulang, memberikan tafsir baru. Munculnya kompilasi Panceg Dina Galur (elaborasi musik metal dengan lirik berbahasa Sunda) dan pemakaian alat musik sunda seperti Tarawangsa dan Karinding, adalah beberapa diantaranya.
Fenomena “Metal Kasundaan” atau musik metal yang kawin dengan elemen-elemen tradisi budaya Sunda adalah sesuatu yang menarik. Ia juga makin terlihat di Bandung Berisik V. Band metal Gugat tampil berkolaborasi bersama sejumlah seniman Sunda. Karinding Attack membawakan beberapa komposisi seperti “Bubuka” yang menyajikan permainan rebab. Juga tampil Jasad dan Forgotten yang menampilkan hibrida musik metal dengan elemen-elemen tradisi Sunda.
Ketika Forgotten tampil, intro bunyian Tarawangsa (alat musik gesek khas Sunda) begitu menyayat terdengar, kemudian dihajar dengan raungan distorsi. Pada dua lagu teranyar, “Laras Perlaya” dan “Tuhan Kalian Profan” suara gesekan Tarawangsa juga amat kental. “Laras Perlaya” sendiri diambil dari kata bahasa Sunda yang berarti lagu kematian. Lagu ini mengkritik gerakan fundamentalisme di Indonesia.
Forgotten selalu menyuarakan pesan-pesan subversif nan provokatif. Addy Gembel, vokalis-cum-penulis band ini, adalah sosok yang pernah dijanjikan halal dibunuh oleh sebuah organisasi fasis fundamentalis. Di hadapan ribuan penonton metalheads di Cimahi ia berujar lantang, “Surga bukan milik individu atau orang-orang bersorban. Surga adalah milik kita semua yang berhak menempatinya”.
Penampilan Jasad, salah satu band death-metal tertua di kota Kembang, juga menggetarkan. Debut album mereka C’est La Vie yang dirilis pada 1995 bisa disebut sebagai salah satu rilisan penting dalam khasanah musik metal Tanah Air. Jasad adalah band yang akhir-akhir ini begitu gencar menyuarakan “Metal Kasundaan”. Lirik-lirik Jasad mayoritas menggunakan bahasa Sunda. Seperti “Hutang Uyah Dibayar Uyah, Hutang Getih Dibayar Getih” dan “Kujang Rompang” dengan pernyataan terkenalnya, “Panceg Dina Galur Moal Ingkah Najan Awak Lebur” yang berarti idealisme yang tetap berdiri apapun yang terjadi.
Malam itu, sang vokalis Jasad Man tampil mengenakan batik dan iket khas Sunda, tanpa bermaksud menjadi chauvinistik. Layar panggung saat Jasad tampil bertuliskan, “Lagu Kita Masih Sama Indonesia Raya”. Pesannya jelas: persuasi untuk memiliki jati diri dan melestarikan budaya tradisi tanpa menjadi fasis. Kemunculan budaya Metal Kasundaan ini menarik dan penting dalam ranah metal kontemporer Indonesia. Fenomena glokalisasi (global-lokal) mengingatkan kita akan artikulasi yang sama pada hip-hop Jawa yang dikembangkan komunitas Jogja Hip Hop Foundation.
Saya dan ribuan penonton harus menunggu hampir menjelang tengah malam untuk kembali ke rumah. Rasanya kaki yang pegal, rasa lapar, dan lelah yang luar biasa tergantikan melihat suka cita para metalheads, yang sudah semakin membesar dan menggila ini. Hasrat mereka tak akan mati, “ruang” mereka semoga telah kembali.
(SUMBER)
FOLLOW ME:
Follow @MoonkiesLabel


Blog agan udah saya follow blog saya juga ya di http://scientist.blogspot.com/
ReplyDeletesaya tidak menemukan blognya???
Deleteapa mungkin blog anda adalah ini, http://scientistsma.blogspot.com/